gambar: odazzander.blogspot.com |
Penggunaan Dialog dalam Novel
Selain narasi\paparan, dialog\obrolan tokoh-tokoh adalah bentuk yang lazim ada dalam sebuah cerita. Fungsi dialog adalah untuk menguatkan jalan cerita dan juga “mencairkan” narasi agar tidak terlalu berat dibaca. Tetapi juga jangan isinya dialog melulu sebab narasi juga diperlukan untuk membangun paparan suasana dan emosi tokoh, sebaiknya seimbang aja. Materi atau jalan cerita yang sudah dikandung narasi jangan diulang dalam dialog, sebaliknya pula, keduanya untuk saling menguatkan.
Dialog bisa ditempatkan dimana saja, sesuai kebutuhannya, bahkan bisa dijadikan siasat untuk menyambung antar paragraf, seperti saat buntu. Dialog membantu pembaca untuk memahami aksen bicara dan karakter tokoh. Setiap tokoh punya gaya berbicara yang berbeda-beda. Tunjukkanlah!
Ada 5 faktor yang mempengaruhi gaya berbicara tokoh:
- Geografis. Ingat! Orang Betawi tidak memiliki akses seperti orang Jawa, dan sebaliknya.
- Pendidikan. Gaya berbicara tokoh seorang direktur tentu berbeda dengan seorang pedagang .
- Personaliti. Dipengaruhi sifat tokoh yang mudah marah, mudah tersinggung ataukah terlalu sabar?
- Lawan bicara. Perhatikan dengan siapa si tokoh berbicara? Guru? Orang tua ataukah anak-anak? Tentunya harus berbeda.
- Respon. Respon terhadap lawan bicara atau terhadap keadaan, apakah si tokoh takut, gugup ataukah menutup diri?
Sulit? Tentu tidak! Hanya saja kita harus banyak belajar. Caranya?
- Perhatikan gaya bicara orang-orang di jalan atau di sekitarmu. Mereka punya cara bicara yang khas, bukan?
- Yang paling utama adalah dengan memahami karakter/tokohmu.
- Ucapkan dan ulangi dialog tersebut hingga sesuai dengan tokoh.
Sekarang, perhatikan Do’s and Don’ts dalam membuat dialog:
- Do’s: Perhatikan gaya bicara masing-masing tokoh. Ingat! Gaya bicara pasti berbeda-beda.
- Do’s: Potong dialog-dialog yang tidak terlalu penting. Jangan terlalu banyak agar pembaca tidak bosan
- Do’s: Tunjukkan emosi tokoh dengan dialog, bukan diceritakan. Misalnya jangan tuliskan “dia berkata dengan marah.” tetapi tunjukkan kemarahan tokoh melalui dialog.
- Do’s: Pastikan dialog logis sesuai karakter tokoh. Jangan sampai anak SD kok ngomong tentang filsafat hermeneutika Gadamer dan Dilthey dan Ricoeur.
- Do’s: Sertakan keterangan-keterangan emosi tokoh dalam berdialog itu. Seperti: Marah. Tawa. Nangis. Datar. Dll. Tetapi inget keterangan itu jangan dipakai pada tiap dialog. Tetapi juga seperlunya. Yang penting juga kejelasan pengucap, agar pembca tidak bingung.
- Do’s: Keterangan itu bisa banyak diksinya, jangan cuma “kata agus”. Bisa juga dengan menggunakan: Ujar, sahut, celoteh, sergah, bisik, dengus, potong, balas, gumam… Sorot, nanar, tajam, isak, timpal, sela, tukas, bahas, terang, tegas, geleng dll.
- Do’s: Kata keterangan juga bisa ditaruh di depan, tengah dan belakang. Variasikanlah! Bosen kan kalo dari depan mulu.Do’s: Gunakan tanda baca dengan tepat! Tanda baca diperlukan untuk menggambarkan suasana emosi dialog itu.
- Do’s: Selipkan narasi-narasi pendek di antara dialog-dialog itu, ini jg bagian dari strategi variasi itu tadi.
- Don’ts: Jangan banyak berbasa basi, misalnya dengan dialog “Hai”, “Halo”, “Apa Kabar?” dsb, tetapi fokuslah terhadap apa yang hendak disampaikan melalui dialog itu.
- Don’ts: Jangan merasa wajib untuk memberikan tag pada setiap dialog. Misalnya, “kata Tina” atau “tanya Silvi” tidak perlu dituliskan bila sudah cukup jelas.
- Don’ts: Jangan membuat pembaca bingung dengan dialog yang disampaikan. Karena dialog seharusnya memperjelas dan bukan membingungkan.
- Don’ts: Jangan jadikan dialog tokoh-tokoh sebagai “corong kultum” penulis. Jangan! Dialog harus selalu sesuai dengan tokoh dan konflik dengan alamiah dan logis. Betapa membosankannya pembaca melihat dialog kultum: kau harus shalat dhuha agar rezekimu lancar! Shalat dhuha adalah…. *jgn terseret dialog.
- Don’ts: Jangan kaku dalam menjalinkan dialog. Buatlah selincah mungkin bak kita sedang mengobrol beneran sehari-sehari itu.
- Don’ts: Jangan panjang-panjang dialog satu tokoh. Dialog masa sampe 3 halaman tanpa sela sahutan tokoh lain or narasi apa pun. Kesannya kayak khutbah.
Dramatisasi dilakukan dengan mendetailkan pengalaman kelima indera pada tubuh si tokoh. Bukan sembarang detail. Diksi pada frasa dan klausa sangat menentukan berhasil tidaknya penyampaian rasa pada pembaca.
Seringkali terjadi kesalahan dalam mendramatisir suasana:
- Untuk dramatisasi, penutur orang pertama paling berasa, tapi kadang penulis ‘offside’ karena membuat orang pertama tahu segala hal. Misal penutur orang pertama, nama tokohnya Asep, tahu isi pikiran dan perasaan teman-temannya yang lain. Ini menabrak logika.Kecuali kalau memang teman-teman Asep blak-blakan pada Asep tentang perasaannya. Kalau memang benar begitu, sampaikan pada narasinya. Jangan sampai ada narasi Asep, “Sebenarnya Nisa tidak mau belajar, tapi dia tetap belajar.” Dari mana asal pengetahuan itu? Jelaskan.
- Contoh kekeliruan lain: Asep adalah anak kampung yang putus sekolah, tapi pandai bicara tentang partitur ketika mendengar musik.
- Penutur orang pertama harus punya langit pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman pribadinya. Yang tidak dialami, jangan diceritakan.Kecuali, si Asep ini mendengar cerita dari temannya, tentang temannya yang lain. Terjelaskanlah kenapa dia bisa tahu ini dan itu.
- Diksi erat kaitannya dengan karakter tokoh. Jangan sampai seorang Jawa berlogat Sunda. Kalaupun mau begitu, jelaskan kenapa! Jika logat membias, pembaca-pembaca pemula dijamin tidak akan larut dalam suasana si tokoh, justru mempertanyakan narasinya. Contoh sederhana, Asep si anak Sunda, bernarasi, “Si Nurdin kegiatannya nongkrong tok.” Ada diksi yang mengganggu pembaca.
Intinya, setiap tokoh dalam cerita mesti punya karakter dan langit pengetahuannya sendiri. Dalam penutur orang pertama, jika si tokoh utama menyimpang dari karakter atau keluar dari langit pengetahuannya, jelaskan sebabnya.
Kalau memang mau segala tahu, melampaui langit pengetahuan setiap tokoh di dalam cerita, gunakan penutur orang ketiga.
Meskipun memakai penutur orang ketiga, penulis baiknya tidak terlalu bernafsu menceritakan suasana (hati) semua tokoh.
Dalam fiksi, ada hal-hal yang memang lebih baik tidak disampaikan dan biarkan pembaca memakai imajinasianya sendiri. Kerja penulis memang melebaykan keadaan; hasilnya bisa romantis, tragis, tapi bisa juga hambar, tergantung keberhasilan dramatisasi.
Rindu mengigilkan selaput ari. *ekstrem* ) RT @rezanufa Jika pakai kulit untuk mendramatisasi, misal: angin menyayat, dsb
Membuat Kalimat Yang Benar -@bewriter01 (Chirpstories)
Kalimat yang baik memiliki struktur yang jelas. Umumnya Subyek (S) Predikat (P) obyek (O) n Keterangan (K) =SPOK. Tetapi tidak semua harus begtu, tergantung kebutuhan juga, minimal terpenuhinya struktur S P.
Mari kita praktek dan membandingkan kalimat dengan frase dengan ide “cinta dan pesek”.
- Cowok gelap itu mengelus hidungnya yg sederhana di depan cermin buramnya (SPK)
- Dia merasa hidungnya adlah masalah terbesar dlm hidupnya (SPOK)
- Dia lalu menangis terisak (SP)
- Cowok yg berhidung sederhana itu, yg setiap malam bgtu rutin mematut hidungnya penuh duka, yg berharap ada keajaiban untuknya. (frase)
- Cowok yg penangis itu, yg tlah bnyk membaca buku ttg panduan mudah dpt pacar, yg sellu curhat ke flashdisk 5 teranya. (frase)
- Dia membayangkan kan btp indah hidupnya jika saja hidung sederhananya yg jd alsan @AvifahVe menolak cintanya tiba2 mancung (kalimat)
- Dia heran, bgaimna mungkin @AvifahVe hnya melihat hdungnya, pdhl hatinta sngt bangir tuk selalu berikan yg terbaik padanya (kalimat)
- akhirnya, dia mngerti bhw sikap @AvifahVe itu lntran dia terus terngiang sama mantannya yg berdada mancung itu (kalimat)
Percuma kita membuat kata-kata sebanyak apapun jika ternyata lepas dari struktur dasarnya itu, tidak akan menjado bacaan yang jelas bagi pembaca. Bandingkan dua sampel berikut untuk membedakan antara kalimat dengan frase:
- Lelaki yang berkemeja kotak itu menandaskan bahwa ia bukanlah orang yang mereka cari.
Selain kalimat dan frase, ada pula jenis lain yang bersifat penegas\pengiat cerita. Ini bisa dipakai pula sebagai trik menyambung kalimat. Misal:
- gue gak habis pikir kok bisa ya Dani nyahut begitu. Penat. Mumet. Benar-benar tak terpikirkan. Rasanya pengen marah….
- Tetapi gue memilih diam aja daripada keadaan makin keruh. Meski nggak nyaman sih. Meski akhirnya kudu gue pikul sendiri. Ah, sial!
--
1 komentar:
kalau misalnya, saya menggunakan kata "aku" dan "kau" saat si tokoh berdialog dengan temannya, dan menggunakan "saya" dan "anda" jika si tokoh berbicara dengan orang yang lebih tua, apakah diperbolehkan? apakah tidak apa - apa jika dalam penulisan, saya tidak menggunakan "gua" dan "lu"
Posting Komentar
Komentar masih gratis kok, gak usah sungkan.. Hehe..